PAMERAN HARI JADI KE 269 DIY

KOLEKSI YOGYAKARTA

Judul

:

Ensiklopedia Keraton Yogyakarta

No. panggil

:

NUS 959.823 DON e

Penulis

:

Doni Judian

Penerbit

:

Gita Nagari

Tahun terbit

:

2010

ISBN

:

978-979-97135-51

Keraton Ngayogyakarta didirikan oleh Hamengkubuwana I setelah perjanjian Giyanti ditandatangani pada tahun 1756 di hutan Garjitawati, dekat desa Beringan dan Pacetokan. Awalnya keraton di bawah kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana I sampai Hamengkubuwana IX merupakan pusat kekuasaan di tanah Yogyakarta Hadiningrat dan sekitarnya. Namun setelah Indonesia merdeka, keraton ber ubah menjadi pusat sejarah dan penjaga eksisensi budaya Jawa yang adi luhung agar terus terjaga. Keraton juga merupakan pusat studi budaya Jawa. Di dalam keraton terdapat benda-benda bersejarah peninggalan raja-raja Mataram, kemudian peninggalan-peninggalan yang di luar keraton ditetapkan menjadi cagar budaya. Di keraton, pengunjung dapat mempelajari berbagai kesenian jawa, yaitu seni tari, gamelan, wayang kulit, dll.

Komplek keraton terdiri dari beberapa bangunan, yaitu Siti Hinggil, Bangsal Kencono, Kamandungan, Keputren, dll. Dalam buku ensiklopedia ini menerangkan tempat-tempat yang terdapat dalam kompleks keraton termasuk fungsi dari ruangan-ruangan tersebut. Setiap bagian keraton diulas secara rinci dan mendalam. Diharapkan dengan adanya buku ini, pembaca dapat mengenal lebih banyak mengenai Keraton Yogyakarta, tidak hanya sebagai objek wisata tetapi juga sebagai monumen budaya.

 

Judul

:

Ensiklopedia Batik Yogyakarta

No. panggil

:

NUS 746.662 IBN e

Penulis

:

Ibnu Aziz

Penerbit

:

Gita Nagari

Tahun terbit

:

2010

ISBN

:

978-979-97136-7-4

Batik merupakan senior warisan nenek moyang tanah air yang memiliki nilai sangat tinggi. Sebuah bentuk keserasian antara nilai seni dan teknologi. Yang menarik perhatian dari batik bukan hanya wujud batiknya, namun juga proses pembuatannya. Karena inilah batik diakui oleh dunia Internasional.

Batik mulai berkembang pada zaman kerajaan Majapahit dan penyebaran Islam di Jawa. Pada mulanya, batik Yogyakarta terbatas di wilayah kalangan keraton saja. Batik dipakai oleh raja dan keluarga, serta para pengikutnya. Kemudian batik dibawa keluar oleh para pengikut raja, dan dari sinilah kesenian batik berkembang dan menyebar di masyarakat.

Buku ini memaparkan tentang perkembangan batik di Yogyakarta, ragam batik, serta berbagai motif batik yang ada di Yogyakarta. Dilengkapi dengan makna filosofis yang terkandung dalam motif batik, kegunaan, dan fungsi batik dalam setiap kesempatan dan acara.

 

Judul

:

Langendriya: dramatari opera gaya Yogyakarta

No. panggil

:

BTR 793.3 LAN

Penulis

:

-

Penerbit

:

Dinas Kebudayaan DIY

Tahun terbit

:

2014

ISBN

:

-

Seni dramatari Langendriya merupakan seni opera tari Jawa yang pertama diciptakan di Indonesia. Penciptanya adalah K.G.P.A.A. Mangkubumi, putra Sultan Hamengkubuwana VI dan menjabat sebagai lurahpangeran serta ajudan gubernur jendral di Yogyakarta pada saat itu. Seni dramatari yang mula-mula diciptakan di nDalem Mangkubumen adalah genre dramatari opera Jawa Langendriya. Dikarenakan setiap akhir pertunjukan selalu ditampilkan sejenis tari putri tunggal yang kemudian dikenal sebagai tari golek, maka lahir pula berbagai genre tari golek tunggal antara lain; golek gambyong, golek pocung kethoprak, golek layung seta, golek gambir sawit, golek jangkung kuning, golek damarkeli, golek sekar gadung pepuletan, golek ngreni, golek gagar mayang, golek surengrana, golek calunthang, serta golek kutut manggung.

Buku ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode sejarah seni. Data ini dicermati melalui kritik sumber, hal ini dilakukan untuk mendapatkan sebuah objektivitas pada kajian. Buku ini memaparkan tipe karakter pada drama tari Langendriya, lakon damarwulan, serta unsur unsur artistic penyajian langendriya yang dilengkapi dengan dokumentasi. Setiap kupasan dalam buku ini mengajak pembaca mengakrabi kembali sebuah fenomena kreatif yang telah menjadi kenyataan historis dari sebuah era pembentukan genre dramatari Jawa gaya Yogyakarta di awal abad XIX. 

 

Judul

:

Wasiat HB IX; Yogyakarta kota republik

No. panggil

:

NUS 321.875 9823 HAR w

Penulis

:

Haryadi Baskoro, Sudomo Sunaryo

Penerbit

:

Galangpress

Tahun terbit

:

2011

ISBN

:

978-602-8174-510

“Yogyakarta menjadi termasyhur oleh karena jiwa kemerdekaan-nya. Hidupkan terus jiwa kemerdekaan itu”. Sepenggal guratan itulah yang ditulis Sukarno pada tanggal 28 Desember 1949 di Lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Tepat sehari setelah momen penyerahan kedaulatan Belanda ke Indonesia. Terlihat, begitu dalam kesan Sukarno pada masyarakat, yang rela menjadi benteng terakhir kemerdekaan Indonesia. Selama pemerintah pusat berkantor di Yogyakarta, Sultan HB IX bersamas Paku Alam VIII menyediakan semua fasilitas, termasuk menggaji pejabat teras Indonesia. Belum lagi menghibahkan enam juta gulden sebagai modal awal Sukarno dan kabinetnya menjalankan roda pemerintahan.

Inilah yang disebut pengorbanan tanpa pamrih. Ketiga agresi militer II berlangsung Belanda menawarkan jabatan “ Super Wali Negeri” atas Jawa dan dan Madura pada Sultan HB IX Raja Jawa ini pun tegas menolak. Sejarah pasti akan bercerita lain seandainya sultan menerima tawaran itu.

Sultan HB IX bertekad untuk berintegrasi dan menyerahkan wilayah kekuasaan pada NKRI. Negosiasi antara Sultan HB IX dan Pakualam VIII dengan presiden Sukarno itulah yang akhirnya melahirkan status keistemewaan Yogyakarta yang ditegaskan dalam Amanat 5 September 1945. Ironisnya, pada masa rezim Soeharto status keistimewaan ini nyaris dihapus. Polemic serupa terulang pada masa kepemimpinan presiden SBY. Sultan HB IX yang dikenal memiliki daya linuwih sudah paham gonjang-ganjing ini akan terjadi. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada Sultan HB X dan mengamanahkan kepada penulis untuk menjelaskan sejarah keistimewaan Yogyakarta kepada public. Di buku inilah wasiat HB IX diuraikan.